MASJID LONING - DRAF II



SEJARAH MASJID LONING

Loning merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Kemiri, Kabupaten Kutoarjo, Jawa Tengah. Di desa Loning ada sebuah mesjid yang sampai saat ini banyak dikunjungi oleh peziarah-peziarah baik dari dalam maupun dari luar negeri. Mesjid ini terkenal karena di mesjid ini terdapat makam KYAI GURU LONING atau Raden Mas Kyai Muchyiddinnurrofingi yang mempunyai nama anak-anak Raden Mas Mansur. Maklumlah Kyai Guru Loning termasuk seorang ulama yang mahir dan juga kerabat keraton, yang kala itu bisa mempunyai banyak isteri dan banyak keturunan yang tersebar luas di dalam maupun di luar negeri. Kyai Guru Loning merupakan pendiri dan pengasuh mesjid dan pondok pesantren di desa Loning. Sampai saat ini Masjid Loning masih banyak menerima peziarah-peziarah dari dalam dan luar negeri seperti dari Malaysia, Brunai Darussalam, terutama pada bulan menjelang Ramadhan, bulan Sya’ban, tradisi yang terjadi sampai saat ini adalah “Khol” yang diselenggarakan setiap tanggal 26 Sya’ban. Masjid  Loning mempunyai hubungan erat dengan pondok pesantren Mlangi, karena Kyai Ageng Mlangi atau Raden Mas Sandeya adalah ayah dari Raden Mas Mansur atau Kyai Guru Loning.
Dalam urutan sejarah, Raden Mas Mansur masih merupakan kerabat keraton, sehingga beliau juga masih menikmati anugerah dari keraton, berupa tanah perdikan, yaitu tanah yang tidak terkena pajak, dan beliau berhak menikmati hasil pertanian dan perkebunan di tanah perdikan itu untuk menopang kehidupan sehari-hari.
Kyai Guru Loning merupakan penyebar agama Islam, seorang ulama kuno yang mahir dalam ilmu Agama Islam, dan juga seorang guru Kurro’ (qiroat) dan hafal al Qur’an, beliau adalah orang yang penuh kasih sayang, ahli berpuasa, juga ahli mengerjakan sholat sunnah, dalam sehari semalam bisa sholat sebanyak 41 rekaat.  Disebutkan juga bahwa Kyai Guru merupakan seorang ulama yang ahli wirangi, tidak bersedia mengerjakan hal-hal yang tidak sepantasnya, tidak mau dengan bebauan apa yang disebut mingsri,  tidak mau  memakan masakan orang-orang yang tidak bertaqwa.  
Banyak orang dari daerah-daerah lain yang menuntut ilmu, belajar dan mondok  di pesantren Loning,  Kyai Guru  mengajarkan agama Islam, tidak hanya beberapa kitab kuning, tetapi juga mengajarkan al Qur’an secara fasih dengan lagu Misriy, lagu Makiyyi, Bashoriy, tidak hanya kepada para santri pria, tetapi juga kepada santri wanita. Pada waktu itu belum ada pengajaran Al Qur’an yang demikian fasih, sehingga Pondok Pesantren Loning terkenal di mana-mana.

SiSILAH RAJA-RAJA MATARAM (garis besar):
Kyai Ageng Pemanahan
(Menerima tanah perdikan Mataram dari Joko Tingkir)
|
v
Panembahan Senopati (Raden SurowRadijaya) 1578-1601
 (mendirikan Negara Mataram yang merdeka)
|
v
Panembahan Hanyokrowati
(Raden Mas Jolang) 1601-1613
|
v
Sultan Agung Prabu Hanyokrowati
(Raden Mas Rangsang) 1613 - 1645
|
v
Amangkurat I (Sunan Tegal Arum) 1645 – 1677
|
V
Amangkurat II 1680 – 1702 (Pendiri Kartosuro)
|
V
Paku Buwono I (Pangeran Puger) 1715-1719 berputera
|
V
Amangkurat IV  1719 -1726, berputera
|
V
Raden Mas Sanderya (KGPH Angabehi Kartosuro),
Kyai Ageng Mlangi, berputera
|
V
Raden Mas Mansur atau R.M. Kyai Muchyidin Nurrofingi,
yang terkenal dengan nama  Kyai Guru Loning,


PRABU AMANGKURAT I

Prabu Amangkurat I merasa kuwalahan dalam menghadapi pemberotakan Trunojoyo, sang Prabu menunjuk puteranya, Raden Mas Rahmat untuk mempertahankan keraton Plered dari pendudukan Trunojoyo, namun puteranya menolak, dia malah ikut menyingkir, oleh karena itu, adiknya, Pangeran Puger atau Raden Mas Drajat diangkat menjadi raja dengan gelar Susuhunan Paku Buwono Senopati Ingalago Ngabdurrahman Sayidina Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa atau Pakubuwono I pada tanggal 6 Juli 1704. Namun Trunojoyo berhasil menguasai keraton Plered dan mendesak  Pangeran Puger menyingkir ke Jenar.  Pangeran Puger kemudian menderikan kerajaan PURWAKANDA dan menjadi raja bergelar Susuhunan Ingalogo dengan ibukota Jenar.

Karena Trunojoyo berhasil menguasai Plered, Amangkurat I menyingkir dan melarikan diri ke arah barat. Kesehatan Sang Prabu mengalami kemunduran. Terdesak di Banyumas, sang Prabu mengarah ke Ajibarang dan Wonoyoso, akhirnya sang Prabu mangkat di daerah Tegalwangi, di sebelah selatan kota Tegal. Oleh karena itu kemudian sang Prabu juga terkenal dengan nama SUNAN TEGAL ARUM.
Sebelum wafat, sang Prabu memberikan amanat kepada puteranya, Raden Mas Rahmat, kakak dari lain ibu Pangeran Puger, sebagai Adipati Anom dan kemudian untuk menjadi raja dengan gelar Amangkurat II.

Trunojoyo yang berhasil menguasai Plered, kemudian menjarah harta pusaka kraton Mataram, dan kemudian memindahkan markasnya ke Kediri. Sepeninggal Trunojoyo, Susuhunan Ingalogo berhasil merebut kembali dan menguasai keraton Plered.  Sesuai dengan amanat sang Prabu, Adipati Anom  mengadakan perjanjian dengan VOC untuk menumpas pemberontakan Trunojoyo. Dan pada tanggal 2 Desember 1679 Trunojoyo ditangkap dan diserahkan kepada Amangkurat II, yang berkata: “Saya ampuni kamu dan mengangkatmu menjadi Adipati Madura” sambil menancapkan keris ke Trunojoyo. Trunojoyo tewas di tangan Amangkurat II.

RADEN MAS PUGER

Sementara itu Amangkurat II merupakan raja yang tidak punya keraton, karena keraton Plered dikuasai oleh Susuhunan Ingalogo.  Kemudian Amankurat II membangun keraton baru di Kartasura pada bulan September 1680, sang Prabu mengajak adiknya, Susuhunan Ingalago, untk bergabung dengan Karosuro, namun ditolak, sehingga terjadilah perang saudara antara Amangkurat II (Raden Mas Rahmat >< Raden Mas Puger  - antar ibukota Mataram: Kartosuro >< Plered).  Susuhunan ingalogo bisa dikalahkan, sehingga dia harus melepaskan gelar Ingalogo dan kembali ke nama Raden Mas Puger serta mengakui Amangkurat II sebagai raja Mataram. R.M. Rahmat menang karena mendapat bantuan VOC. Memang dua bersaudara itu sangat berbeda sifatnya, yang satu sang Adipati Anom, orangnya lemah dan tidak teguh, sedangkan yang lain Raden Mas Puger orangnya sangat tegas. Maka meskipun Amangkurat II adalah raja, tetapi roda pemerintahan lebih banyak dijalankan oleh Pangeran Puger.

Raden Mas Puger mempunyai seorang putera bernama Raden Mas Suryoseputro, yang dikirimkan ke Pondok Pesantran di Gedangan, Surabaya, dengan nama M. Ihsan. Pondok Pesantren Gedangan di bawah asuhan Kyai Abdul Muchsin. Keberadaan M. Ihsan memang dirahasiakan dari keraton, ia bertindak seperti rakyat biasa. Di pondok pesantren tersebut ada acara tetap pengajian setiap 35 hari sekali yang disebut  SELAPANAN. Pada suatu acara Selapanan itu ada seorang tamu agung yaitu Adipati Wironegoro. Adipati Wironegoro adalah gelar yang dianugerahkan kepada Untung Surapati dari Prabu Amangkurat II dan diangkat sebagai Demang di Pasuruan. Sang Adipati memperhatikan tindak-tanduk M. Ihsan yang sedang sibuk melayani para tamu dan mempunyai firasat bahwa pemuda itu pasti bukan pemuda biasa. Setelah pengajian usai, sang Adipati meminta Kyai Muchsin untuk memangil M. Ihsan untuk berbincang-bincang. Ketika benar diketahui bahwa M. Ihsan memang kerabat keraton, maka M. Ihsan meminta kepada sang Adipati dan Kyai Muchsin untuk tetap merahasiakan keberadaannya dari orang-orang istana. Dan kemudian terjadi kesepakatan antara Adipati Wironegoro, Kyai Muchsin dan M. Ihsan, yaitu menikahkan M. Ihsan dengan  R. A. Retno Susilowati (puteri Adipati Wironegono). Dan M. Ihsan membawa isterinya menetap di Pondok Pesantran Gedangan.
Ketika keberadaan M. Ihsan diketahui oleh keraton, maka dipanggilah ia untuk kembali ke keraton. Ketika itu isterinya sedang mengandung, sehingga terpaksa ditinggalkan di Gedangan. Sebelum berangkat R.M. Suryoseputro berpesan “Apabila puteraku lahir laki-laki, berilah ia nama Sandeyo, sedangkan kalau perempuan, terserah kepada Kyai mau diberi nama siapa.”

Kembalilah Raden Mas Suryoseputro serta dinobatkan sebagai raja dengan gelar Amangkurat Jawa atau Amangkurat IV, yang memerintah dari tahun 1719 – 1726. Ketika sang raja teringat akan puteranya Raden Mas Sandeya, maka dipanggillah sang putera untuk kembali ke Keraton.

RADEN MAS SANDEYO – KYAI AGENG MLANGI

Raden Mas Sandeyo menjadi seorang pemuda yang sangat pandai, yang menguasai ilmu agama dan ilmu lainnya, termasuk ilmu pemerintahan.  Selama perjalanan pulang ke keraton, sang pangeran diiringi dua orang pengawal yang juga menjadi sahabatnya, yaitu : Sanusi dan Tamisani. Sang pangeran banyak berdakwah di sepanjang perjalanan dan banyak membangun mesjid.
Ketika perjalanan sampai di Kulon Progo, dia disambut dan diampirkan oleh Demang Hadiwongso (penguasa Gegulu) yang terpikat atas kecakapan dan kepandaian sang pangeran. Maka ki Demang sekeluarga menjadi pemeluk Islam. Dia menikahkan puterinya RA Mursilah dengan Raden Mas Suryosaputro,  serta dua puterinya yang lain: RA Maimunah dengan Sanusi, dan RA Romlah dengan Tamisani.
Raden Sandeyo atau Raden Mas Nur Iman mendapat gelar KGHP Angabei Kartosuro dan mendapat rumah di Sukowati.gelar KGHP Angabei Kartosuro dan mendapat rumah di Sukowati.
Sebagai putera pertama dari Amangkurat IV R.M. Sandeyo dinobatkan menjadi Pangeran Angabehi (Nayoko Agung) mewakili pemerintahan Kartosuro, tetapi tidak berlangsung lama. Dia melepaskan keprabon, dia memilih untuk berkelana untuk mencari tempat yang baik untuk menyebarkan agama islam. Dengan diikuti dua pengawalnya, Sanusi dan Tamisani, Raden Sandeyo berkelana, masuk desa keluar desa, naik gunung, turun gunung, akhirnya menemukan tempat di sebelah barat dekat mesjid dan pondok yang diasuh  Haji Nawawi. Lahan itu merupakan tanah perdikan yang diberikan kepada Raden Mas Sandeya sebagai hak sebagai trah keraton. Tanah perdikan adalah tanah yang bebas pajak dan hasil sawah, ladang itu untuk menopang hidup keluarga, konon luas tanah tersebut sampai sejauh suara bedug masih terdengar. Di tanah tersebut didirikan rumah untuk tempat tinggal Raden Sandeyo, mesjid dan pondok untuk tempat  ibadah dan penyebaran agama Islam. Ketika ditemukan, tanah itu seperti bercahaya dan berbau harum, maka diberi nama MLANGI. Ada ceritera lain mengenai nama Mlangi, karena niatan Raden Sandeya untuk "mulangi" atau mengajarkan agama Islam, maka daerah itu dinamakan Mlangi. Untuk kedua pengawalnya diberi tanah di sebelah selatan Mlangi untuk bermukim yang diberi nama Dukuh.

Raden Mas Sandeya berdepok di Pondok Pesantren Mlangi dengan gelar Kyai Ageng Nurman, terkenal dengan nama Kyai Ageng Mlangi. Kyai Ageng tidak hanya aktif dalam penyebaran agama Islam, tetapi juga aktif dalam kemasyarakatan atau politik. Ketika terjadi perang Diponegoro, secara diam-diam dia membantu dan menyokong Pangeran Diponegoro. Mataram juga terus-menerus mengalami kemelut yang kemudian berakhir dengan persetujuan Giyanti (1755). Dalam Perjanjian Giyanti itu diputuskan :

1. Kerajaan Mataram Kartosuro pecah menjadi 2 bagian:
  • dari Prambanan ke timur menjadi milik Susuhunan Pakubuwono III, beribukota di Surakarta.
  • Prambanan ke barat menjadi milik Pangeran Mangkubumi, yang bergelar Sultan Hamengkubuwono, beribukota Yogyakarta.
2. Pangeran Sambernyawa/R.M. Said diberi kedudukan Adipati Mangkunegoro I.
    Dan diberi hak mendirikan Pura - Pura Mangkunegara.

Ketika sedang ramai-ramainya huru-hara, Kyai Ageng melarikan diri, pergi ke Semarang, karena khawatir musuhnya dapat menyusul, kyai Ageng membentangkan saputangan merah yang besar di atas laut, konon itu menjadi kendaraan beliau sebagai perahu  untuk pergi ke Mekkah, naik haji dan pulang kembali dengan kendaraan yang sama. Banyak orang yang takjub atas kesaktian itu, oleh karenanya kemudian Kyai Ageng dijuluki  Kyai Ageng Nyabrangsepisanan (artinya kyai ageng yang pertama kali melakukan penyeberangan, naik haji maksudnya). Puteranya, Raden Mas Nawawi juga melakukan hal yang sama, sang pangeran menentang dan tidak cocok dengan kebijakan keraton tentang hukuman "picis"/memenggal kepala, juga tidak berkenan dengan hukum syariat, maka pangeran ini melarikan diri, pergi ke Semarang dan berniat untuk naik haji.. R.M. Nawawi naik haji, konon, dengan cara menyeberang laut dengan sobekan sepet (sabut kelapa) sampai ke Mekkah, sehingga beliau dikenal sebagai Kyai Nyabrangkapindo (ke-2 kali).

Di pondok pesantren, Kyai Ageng Mlangi  mempunyai banyak sekali murid dari daerah-daerah lain dan dari seberang. Seorang gadis Campa (keturunan Cina) yang cantik juga mengabdi melayani Kyai Ageng,  kemudian diambil isteri oleh Kyai Ageng dan mendapat sebutan Nyai Ageng.

RADEN MAS MANSUR atau Kyai Guru Loning

Setelah Kyai Ageng Mlangi wafat, nyai Ageng sedang dalam keadaan hamil enam bulan dan nyai tidak berkenan untuk tinggal di Mlangi, nyai Ageng mengadakan perjalanan ke arah barat laut. Nyai Ageng berjalan dari desa Mlangi ke arah barat daya, setibanya di desa Ngapak, sisi timur sungai Progo, lalu belok ke utara. Konon perjalanan nyai Ageng ini dipandu oleh bobotan (janin yang dikandungnya) sampai tiga kali, Perjalanan selanjutnya lurus ke barat melalui desa kaligesing sampai tiba di Bedungus, Kemiri, Kutoarjo. Karena kelelahan nyai Ageng menderita kelumpuhan. Di desa Bedungus, tinggal seorang abdi dan murid Kyai Ageng Mlangi, yaitu Kyai Haji Sanusi. Nyai Ageng diterima dengan baik oleh keluarga Kyai Haji Sanusi dan menyilahkan nyai Ageng untuk tinggal bersama mereka selama nyai berkenan. Sampai tiba saatnya, Nyai Ageng melahirkan seorang putera yang cakap parasnya. Nyai Ageng mengundang kakak-kakak jabang bayi dari ibu yang lain. Kakak-kakaknya dari Mlangi datang untuk menyaksikan bayi adiknya yang sangat tampan dan memberikan nama Raden Mas Mansur.

Hingga dewasa, Raden Mas Mansur berdiam di Bedungus, dia menjadi anak yang sangat pandai dan tampan. Tidak seperti teman-teman sebayanya, Raden Mas Mansur, selain parasnya yang tampan, sopan dan santun, juga sangat pandai. Maka ketika dewasa Raden Mas Mansur banyak mengaji ke mana-mana. Pertama kali R.M. Mansur mengaji pada Kyai Soleh Qulhu di Payaman, Magelang. Raden Mas Mansur mendapat dukungan dari Patih Dipodirjo, Purworejo, berupa bantuan uang dan lain-lainnya sehingga dapat naik Haji. Kemudian dia menjadi menantu Soleh Qulhu dan menantu Patih Danudirjo.

Kemudian Raden Mas Mansur mengaji dan mondok di Demak dan menjadi menantu Penghulu Demak, yang mempunyai putera Raden Mas Haji Ngabdulrochman yang kelak menjadi Penghulu di demak. Lama beliau belajar agama islam di Aceh. Sekembalinya dari Aceh, beliau mulai mencari tahah untuk bertepat tinggal dan menemukannya di Loning . Tanah itu berupa padang ilalang. Dibantu oleh Glondong Loning, bernama Dipomenggolo, Raden Mas Mansur membabad ilalang dan mendirikan pesantren, berupa mesjid dan pondok untuk para Santri. Raden Mas Mansur mengelola pesantren itu bergelar Raden  Mas Kyai Muchyidinnurrofi'I, atau lebih terkenal sebagai Kyai Guru Loning.

Kyai Guru Loning adalah seorang ulama kuno yang mahir dalam ilmu Agama Islam, juga  merupakan seorang guru Kurro' dam hafal Al Qur'an. Kyai seorang yang penuh kasih sayang, tidak mau menyakiti mahluk hidup, dan suka menjalankan puasa. Beliau adalah seorang ulama ahli wirangi, tidak bersedia mengerjakan yang tidak sepantasnya, tidak mau dengan bau-bauan apa yang disebut mingsri, tidak makan makanan dari masakan orang yang tidak bertaqwa. Selain ahli puasa, Kyai Guru juga ahli mngerjakan shalat sunnah, sehari-semalam bisa melakukan 41 rekaat.
 
Kyai Guru adalah penyebar Agama Islam, tidak hanya mengajarkan beberapa kitab kuning, tetapi juga mengajarkan Al Qur'an dengan sangat fasih dengan lagu Misry, lagu Makiyyi, Bashoriyi, tidak hanya kepada santri pria, tetapi juga kepada para santri wanita. Kyai Guru juga mengajarkan Tarikat Sataariyah, bahkan yang memperoleh Ijazah Tarikat adalah Kyai Imampuro dan Kyai Ngemplak, yang sejak kanak-kanak menjadi peladen di rumah mBah Guru Loning.
Pada jaman itu, belum ada pengajaran Al Qur'an yang demikian fasih, sehingga pondok Loning menajdi terkenal dimana-mana. Selain itu Kyai Guru juga menjalankan dzikir saman.

Kyai Guru Loning wafat dalam usia 56 tahun, pada hari Rabu Kliwon, bulan syawal 1276 Hijriyah (tahun kalender: 1853) dan dimakamkan di sebelah barat pengimaman Mesjid Loning.

Komentar

  1. Silsilah nya dari dipomenggolo kades glondong yang membantu mendirikan pesantres sayid arofii itu boleh d jabarkan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PONDOK PESANTREN MLANGI DAN LONING

Bapakku