PONDOK PESANTREN MLANGI DAN LONING

RAJA MATARAM : PRABU AMANGKURAT I  (1645 -1677)

Pada awal abad ke-18, Kerajaan Mataram menghadapi pemberontakan Trunojoyo. Prabu Amangkurat I kala itu mengalami kesulitan dalam menghadapi pemberontakan dan memberi tugas kepada putara tertua, Raden Mas Rahmat untuk mempertahankan keraton, tetapi pangeran ini menolak tugas tersebut, malahan ikut menyingkir.. Oleh karena itu tugas diserahkan kepada putera  sang Prabu yang lain, Raden Mas Puger yang aslinya bernama Raden Mas Drajat,  tugas untuk mempertahankan  ibukota keraton  PLERED. Namun karena terdesak oleh Pasukan Trunojoyo, Pangeran Puger menyingkir ke Jenar dan mendirikan kerajaan baru, PURWAKANDA dan bergelar Susuhunan Ingalaga. dengan ibukota Jenar

Amangkurat I terpaksa melarikan diri dari keratonnya dan berusaha menyingkir ke arah barat, tetapi kesehatannya mengalami kemundurannya. Setelah terdesak ke Banyumas, kemudian ke Ajibarang dan Wonoyoso, akhirnya sang Prabu Amangkurat I mangkat di daerah Tegalwangi sebelah selatan Tegal, yang kemudian sang Susuhunan terkenal dengan julukan SUNAN TEGAL ARUM.

Sementara itu Raden Mas Rahmat menjadi Adipati Anom, berbalik mendukung ayahnya Amangkurat I. Pasukan Trunojoyo berhasil mengalahkan Pasukan Adipati Anom pada Oktober 1976 dan kemudian menguasai ibukota Mataram Plered. Dan sang Adipati menyingkir meninggalkan Plered. Kemudian Trunojoyo mengobrak-abrik dan menjarah keraton Plered, Trunojoyo memindahkan pangkalannya ke Kediri. Pasukan Pangeran Puger atau Susuhunan Ingalaga berhasil mengusai kembali Plered. 

Sebelum Amangkurat I mangkat, sang Prabu sempat menunjuk Adipati Anom atau Raden Mas Rahmat menjadi raja Mataram yang baru bergelar Amangkurat II. Berbeda dengan Pangeran Puger yang bersifat sangat tegas, Amangkurat II cenderung lemah hati dan kurang teguh.
Sesuai dengan wasiat ayahnya, Sang Prabu Amangkurat II mengadakan kerjasama dengan VOC melawan Trunojoyo dan Trunojoyo menyerah kepada VOC pada tgl 2 Desember 1679, yang kemudian diserahkan ke Adipati Anom (Amangkurat II) yang mengatakan "Saya ampuni kamu dan mengangkatmu sebagai Adipati Madura" sambil menusukkan kerisnya ke Trunojoyo, sampai tewas. Trunojoyo tewas di tangan Amangkurat II.
Amangkurat II merupakan raja tanpa istana, karena istana Plered pada waktu itu dikalkuasai oleh Susuhunan Ingalaga. Sang Adipati Anom membangun keraton baru Kartosuro dan menjadi raja bergelar Amangkurat II.(September 1680). Susuhunan Ingalaga menolak ajakan  bergabung dengan Amangkurat II, maka terjadilah perang saudara. Amangkurat II meminta bantuan VOC dalam menaklukan adiknya Susuhunan Ingalaga. Susuhunan Ingalago dapat ditundukkan dan ia melepaskan gelar Susuhunan Ingalaga, kembali ke Pangeran Puger serta mengakui Amangkurat II, sebagai raja Mataram di keraton Surakarta

PANGERAN PUGER

Dengan tunduknya Pangeran Puger, Raden Mas Rahmat alias Adipati Anom memantapkan memakai gelar Amangkurat II, karena lemahnya sang Prabu, pada kenyataannya yang menjalankan roda pemerintahan adalah Pangeran Puger.

Pangeran Puger mempunyai putera Raden Mas Suryosaputro, yang menjadi santri di Pondok Pesatren Gedangan Surabaya dengan nama M. Ihsan. Pondok Pesantren Gedangan diasuh oleh Kyai Abdul Muchsin. Ponpes mempunyai acara rutin yang diberi nama Selapanan, diselenggarakan tigapuluh lima hari sekali (tujuh minggu). Sebagai seorang santri, M. Ihsan sangat rajin, dia membantu meladeni tamu-tamu pada waktu acara Selapanan itu.
Pada suatu acara Selapan, Kyai Abdul Muchsin menerima tamu Adipati Wironegoro, demang di Pasuruan. Adipati Wiroguno adalah gelar yang dianugerahkan oleh Amangkurat II kepada Untung Surapati. Ketika itu sang Adipati memperhatikan segala tindak tanduk M. Ihsan yang sedang sibuk meladeni para tamu, sang Adipati merasa bahwa M. Ihsan ini tidak seperti pemuda biasa, membuat sang Adipati menjadi penasaran. Setelah selesai acara, sang Adipati meminta Kyai  Muchsin untuk memanggil M. Ihsan. Dan benarlah dugaan sang Adipati, ternyata M. Ihsan adalah seorang bangsawan, putera Pangeran Puger. Namun M. Ihsan meminta sang Adipati dan juga Kyai Muchsin agar bisa merahasiakan keberadaannya  di Pondok Pesantren ini tidak diketahui keraton.
Selanjutnya sang Adipati sepakat dengan Kyai Muchsin untuk menikahkan M. Ihsan dengan puterinya bernama R.A. Reno Susilowati, yang kemudian diboyong ke Pondok Pesantren. Pada akhirnya keberadaan M. Ichsan atau Raden Mas Suryosaputro diketahui oleh keraton, maka dia dipangil untuk kembali ke keraton.
Raden Mas Suryosaputro kembali kekeraton dan isterinya ditinggalkan di Pondok Pesantren, yang sedang dalam keadaan hamil. Kepada Kyai Muchsin, ia berpesan "Kalau anakku lahir lakilaki, berilah nama SANDEYA, kalau perempuan, terserah kepada Pak Kyai untuk memberi nama."
Sekembalinya ke keraton, Raden Mas Suryokusuma dinobatkan menjadi raja dengan gelar AMANGKURAT JAWA atau Amangkurat IV, yang memerintah dari tahun 1719 sampai 1726.

RADEN MAS SANDEYA - Kyai Mlangi

Prabu Amangkurat IV teringat akan puteranya yang ditinggal di Pondok Pesantren Gedangan, Raden Mas Sandeya, maka dipanggilnya untuk kembali ke keraton. Raden Mas Sandeya atau Raden Mas Nur Iman
tumbuh menjadi pemuda yang tampan yang menguasai ilmu agama dan ilmu-ilmu lainnya. R.M. Sandeya kembali ke keraton ditemani dua pengawalnya, SANUSI dan TAMISANI, yang juga menjadi sahabatnya. Di sepanjang perjalanan dari Gedangan ke Surakarta dia berkotbah menyebarkan agama Islam dan membangun mesjid di beberapa kota.
 
Ketika perjalanan sampai di Kulon Progo, sang Pangeran diampirkan dan disambut oleh Demang Hadiwongso (Penguasa Gegulu). Sang Pangeran beserta pengikutnya disilahkan untuk beristirahat sejenak di Kulon Progo. Tertarik oleh ketampanan dan kepandaian sang Pangeran, Demang Hadiwongso sekeluarga masuk dan memeluk agama Islam. Kemudian sang Demang menikahkan puterinya RA. Mursalah dengan R.M. Sandeya atau R.M. Nur Iman, dan menikahkan dua puteri lainnya, RA Maimunah dengan Sanusi, dan  RA Romlah dengan Tamisani.

Raden Mas Sandeyo mendapat gelar KGHP Kartosuro dan mendapat rumah kediaman di Sukowati. Sebagai putera pertama dari Amangkurat IV R.M. Sandeyo dinobatkan menjadi Pangeran Angabehi (Nayoko Agung) mewakili pemerintahan Kartosuro, tetapi tidak berlangsung lama. Dia melepaskan keprabon, dia memilih untuk berkelana untuk mencari tempat yang baik untuk menyebarkan agama islam. Dengan diikuti dua pengawalnya, Sanusi dan Tamisani, Raden Sandeyo berkelana, masuk desa keluar desa, naik gunung, turun gunung, akhirnya menemukan tempat di sebelah barat dekat mesjid dan pondok yang diasuh  Haji Nawawi. Lahan itu merupakan tanah perdikan yang diberikan kepada Raden Mas Sandeya sebagai hak sebagai trah keraton. Tanah perdikan adalah tanah yang bebas pajak dan hasil sawah, ladang itu untuk menopang hidup keluarga, konon luas tanah tersebut sampai sejauh suara bedug masih terdengar. Di tanah tersebut didirikan rumah untuk tempat tinggal Raden Sandeyo, mesjid dan pondok untuk tempat  ibadah dan penyebaran agama Islam. Ketika ditemukan, tanah itu seperti bercahaya dan berbau harum, maka diberi nama MLANGI. Ada ceritera lain mengenai nama Mlangi, karena niatan Raden Sandeya untuk "mulangi" atau mengajarkan agama Islam, maka daerah itu dinamakan Mlangi. Untuk kedua pengawalnya diberi tanah di sebelah selatan Mlangi untuk bermukim yang diberi nama Dukuh.

Raden Mas Sandeya berdepok di Pondok Pesantren Mlangi dengan gelar Kyai Ageng Nurman, terkenal dengan nama Kyai Ageng Mlangi.
Pada waktu terjadi huru-hara di keraton Kartasuro, yang berakhir dengan persetujuan Giyanti (1755). Dalam Perjanjian Giyanti itu diputuskan :
1. Kerajaan Mataram Kartosuro pecah menjadi 2 bagian:
  • dari Prambanan ke timur menjadi milik Susuhunan Pakubuwono III, beribukota di Surakarta.
  • Prambanan ke barat menjadi milik Pangeran Mangkubumi, yang bergelar Sultan Hamengkubuwono, beribukota Yogyakarta.
2. Pangeran Sambernyawa/R.M. Said diberi kedudukan Adipati Mangkunegoro I.
    Dan diberi hak mendirikan Pura - Pura Mangkunegara.

Ketika sedang ramai-ramainya huru-hara, Kyai Ageng melarikan diri, pergi ke Semarang, karena khawatir musuhnya dapat menyusul, kyai Ageng membentangkan saputangan merah yang besar di atas laut, konon itu menjadi kendaraan beliau sebagai perahu  untuk pergi ke Mekkah, naik haji dan pulang kembali dengan kendaraan yang sama. Banyak orang yang takjub atas kesaktian itu, oleh karenanya kemudian Kyai Ageng dijuluki  Kyai Ageng Nyabrangsepisanan (artinya kyai ageng yang pertama kali melakukan penyeberangan, naik haji maksudnya). Puteranya, Raden Mas Nawawi juga melakukan hal yang sama, sang pangeran menentang dan tidak cocok dengan kebijakan keraton tentang hukuman "picis"/memenggal kepala, juga tidak berkenan dengan hukum syariat, maka pangeran ini melarikan diri, pergi ke Semarang dan berniat untuk naik haji.. R.M. Nawawi naik haji, konon, dengan cara menyeberang laut dengan sobekan sepet (sabut kelapa) sampai ke Mekkah, sehingga beliau dikenal sebagai Kyai Nyabrangkapindo (ke-2 kali).

Di pondok pesantren, Kyai Ageng Mlangi  mempunyai banyak sekali murid dari daerah-daerah lain dan dari seberang. Seorang gadis Campa (keturunan Cina) yang cantik juga mengabdi melayani Kyai Ageng,  kemudian diambil isteri oleh Kyai Ageng dan mendapat sebutan Nyai Ageng.

RADEN MAS MANSUR atau Kyai Guru Loning

Setelah Kyai Ageng Mlangi wafat, nyai Ageng sedang dalam keadaan hamil enam bulan dan nyai tidak berkenan untuk tinggal di Mlangi, nyai Ageng mengadakan perjalanan ke arah barat laut. Nyai Ageng berjalan dari desa Mlangi ke arah barat daya, setibanya di desa Ngapak, sisi timur sungai Progo, lalu belok ke utara. Konon perjalanan nyai Ageng ini dipandu oleh bobotan (janin yang dikandungnya) sampai tiga kali, Perjalanan selanjutnya lurus ke barat melalui desa kaligesing sampai tiba di Bedungus, Kemiri, Kutoarjo. Karena kelelahan nyai Ageng menderita kelumpuhan. Di desa Bedungus, tinggal seorang abdi dan murid Kyai Ageng Mlangi, yaitu Kyai Haji Sanusi. Nyai Ageng diterima dengan baik oleh keluarga Kyai Haji Sanusi dan menyilahkan nyai Ageng untuk tinggal bersama mereka selama nyai berkenan. Sampai tiba saatnya, Nyai Ageng melahirkan seorang putera yang cakap parasnya. Nyai Ageng mengundang kakak-kakak jabang bayi dari ibu yang lain. Kakak-kakaknya dari Mlangi datang untuk menyaksikan bayi adiknya yang sangat tampan dan memberikan nama Raden Mas Mansur.

Hingga dewasa, Raden Mas Mansur berdiam di Bedungus, dia menjadi anak yang sangat pandai dan tampan. Tidak seperti teman-teman sebayanya, Raden Mas Mansur, selain parasnya yang tampan, sopan dan santun, juga sangat pandai. Maka ketika dewasa Raden Mas Mansur banyak mengaji ke mana-mana. Pertama kali R.M. Mansur mengaji pada K, sehinggayai Soleh Qulhu di Payaman, Magelang. Raden Mas Mansur mendapat dukungan dari Patih Dipodirjo, Purworejo, berupa bantuan uang dan lain-lainnya sehingga dapat naik Haji. Kemudian dia menjadi menantu Soleh Qulhu dan menantu Patih Danudirjo.

Kemudian Raden Mas Mansur mengaji dan mondok di Demak dan menjadi menantu Penghulu Demak, yang mempunyai putera Raden Mas Haji Ngabdulrochman yang kelak menjadi Penghulu di demak. Lama beliau belajar agama islam di Aceh. Sekembalinya dari Aceh, beliau mulai mencari tahah di Loning. Tanah itu berupa padang ilalang. Dibantu oleh Glondong Loning, bernama Dipomenggolo, Raden Mas Mansur membabad ilalang dan mendirikan pesantren, berupa mesjid dan pondok untuk para Santri. Raden Mas Mansur mengelola pesantren itu dikenal dengan nama Kyai Guru Loning, Raden Mas  Kyai Muchyidinnurrofi'i.

Kyai Guru Loning adalah seorang ulama kuno yang mahir dalam ilmu Agama Islam, juga merupakan seorang guru Kurro' dam hafal Al Qur'an. Kyai seorang yang penuh kasih sayang, tidak mau menyakiti mahluk hidup, dan suka menjalankan puasa. Beliau adalah seorang ulama ahli wirangi, tidak bersedia mengerjakan yang tidak sepantasnya, tidak mau dengan bau-bauan apa yang disebut mingsri, tidak makan makanan dari masakan orang yang tidak bertaqwa. Selain ahli puasa, Kyai Guru juga ahli mngerjakan shalat sunnah, sehari-semalam bisa melakukan 41 rekaat.
Kyai Guru adalah penyebar Agama Islam, tidak hanya mengajarkan beberapa kitab kuning, tetapi juga mengajarkan Al Qur'an dengan sangat fasih dengan lagu Misry, lagu Makiyyi, Bashoriyi, tidak hanya kepada santri pria, tetapi juga para santri wanita. Kyai Guru juga mengajarkan Tarikat Sataariyah, bahkan yang memperoleh Ijazah Tarikat adalah Kyai Imampuro dan Kyai Ngemplak, yang sejak kanak-kanak menjadi peladen di rumah mBah Guru Loning.
Pada jaman itu, belum ada pengajaran Al Qur'an yang demikian fasih, sehingga pondok Loning menajdi terkenal dimana-mana. Selain itu Kyai Guru juga menjalankan dzikir saman.

Kyai Guru Loning wafat dalam usia 56 tahun, pada hari Rabu Kliwon, bulan syawal 1276 Hijriyah (tahun kalender: 1853) dan dimakamkan di sebelah barat pengimaman Mesjid Loning.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASJID LONING - DRAF II

Bapakku